logo atas pa

Written by Dandi Narendra, S.H on . Hits: 786

20 Mei 2022

Salah satu syarat mutlak yang perlu diperhatikan ketika akan melangsungkan perkawinan adalah perihal ketentuan batas usia menikah baik bagi calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Sebagaimana telah diketahui bersama, terdapat perubahan batas usia menikah yang telah diatur ketentuannya di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut sebagai “UU 16/2019”). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun” dari yang sebelumnya adalah 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita. Namun meskipun demikian, UU 16/2019 juga menggariskan ketentuan bilamana terdapat penyimpangan terhadap ketentuan umur yang telah diatur melalui mekanisme dispensasi.

Pengaturan mengenai dispensasi kawin terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.”

Secara serta merta, permohonan dispensasi kawin pada pokoknya diajukan secara voluntair oleh orang tua/wali ke pengadilan. Spesifiknya, permohonan dispensasi kawin diajukan kepada Pengadilan dalam wilayah hukum di mana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal (vide: Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi 2010). Namun, dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Vide: Pasal 6 ayat (4) UU 1/1974).

Kompleksitas penanganan perkara dispensasi kawin harus diiringi dengan semangat pengadilan dalam mencegah perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan. Terlebih lagi, setelah dilakukan perubahan terhadap batas minimal usia pernikahan sebagaimana diatur dalam UU 16/2019, peran aktif pengadilan dalam memutus permohonan dispensasi kawin benar-benar dibutuhkan karena angka permohonan dispensasi kawin disinyalir meningkat dari tahun ke tahun.

Relevansi dibutuhkannya peran aktif pengadilan dalam memutus permohonan dispensasi kawin terlihat betul-betul diimplementasikan oleh Pengadilan Agama Sinjai. Pada Kamis (19/5/2022), Pengadilan Agama Sinjai telah memeriksa, mengadili, dan memutus salah satu perkara dispensasi kawin dengan Nomor Perkara 146/Pdt.P/2022/PA.Sj. Dalam perkara tersebut, pemohon bermaksud akan melangsung pernikahan adik kandungnya yang berumur 13 tahun 6 bulan. Adapun, kedudukan pemohon dalam permohonan in casu adalah sebagai wali dari adik perempuannya mengingat kedua orang tua dari dua bersaudara tersebut telah meninggal dunia.

Namun, pemohon yang dalam hal ini berkedudukan sebagai wali dari calon mempelai wanita tersebut masih berumur 19 tahun. Perlu untuk dianalisis lebih lanjut, bahwa ketentuan mengenai penentuan kecakapan hukum seseorang berdasarkan usia adalah 21 (dua puluh satu) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Sehingga, pemohon dalam perkara a quo termasuk orang yang belum cakap dalam hukum dan karenanya tidak boleh bertindak sendiri di hadapan hukum.

Menindaklanjuti hal tersebut, Bapak Mansur, S.Ag., M.Pd.I. yang bertindak sebagai hakim dalam perkara a quo menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard) dalam amar penetapannya. Adapun permohonan tidak dapat diterima merupakan akibat dari tidak terpenuhinya persyaratan formil. Berdasarkan, doktrin hukum yang dicetuskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata, menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811):

  1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR;
  2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;
  3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;
  4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif.

Meskipun doktrin hukum tersebut berkaitan dengan gugatan, namun secara konsensual dapat pula diaplikasikan dalam perkara voluntair atau permohonan melalui metode penafsiran hukum.

Pernikahan di bawah batas usia pernikahan adalah persoalan yang kompleks, sehingga dalam mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin, Pengadilan Agama harus merumuskan pertimbangan dari berbagai sudut pandang, di antaranya pertimbangan secara syar’I, yuridis, sosiologis, psikologis, dan termasuk kesehatan. Oleh karenanya, dengan dijatuhkannya penetapan tidak dapat diterima dalam perkara a quo menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Agama Sinjai dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara senantiasa mengedepankan asas hakim aktif dan mengupas fakta hukum hingga pada lapisan terdalam guna mewujudkan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. (DN)

Hubungi Kami

info6

Klik gambar untuk akses lebih lanjut

Media

 

Copyright © 2024 Pengadilan Agama Sinjai All Right Reserved